Donald Trump dari partai Republik dan Kamala Harris dari partai Demokrat sebagai calon Presiden dengan daya saing yang sengit telah menyampaikan argumen penutup mereka di Michigan dan Pennsylvania 04 September 2024, sehari sebelum hari pemilihan. Hal itu cukup membuat masyarakat Amerika Serikat frustasi memikirkan dampak pasca pemilihan nantinya. Ketika Reuters berbincang dengan tujuh orang perwakilan negara bagian AS pada Selasa, 5 November kemarin, beberapa mengatakan bahwa masyarakat sangat khawatir jika Trump kalah karena mereka tidak siap menghadapi kerusuhan yang pernah dilakukan pengikutnya pada pemilu 2020 kemarin sebab kekalahan Trump.
Ketegangan dan kekhawatiran sebenarnya tidak hanya menimpa masyarakat AS sendiri, tapi juga seluruh masyarakat di dunia. Ada beberapa aspek yang menjadi fokus kekhawatiran masyarakat, khususnya para kepala negara atau organisasi internasional yang mempunyai perjanjian kerjasama dengan Amerika. Tampaknya, sorotan yang paling krusial adalah perubahan iklim, melihat fenomena itu tidak hanya melibatkan satu atau dua negara, tapi menyelimuti seluruh dunia.
Mengapa Harus Perubahan Iklim?
Iklim memang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh manusia. Perubahan iklim tidak hanya disebabkan oleh perbuatan manusia, namun akibatnya sangat fatal. Awal mula manusia bertahan hidup di bumi dibantu oleh segala sesuatu yang alami dari Bumi. Pangan, sandang, dan papan seluruhnya merupakan hasil produksi alami dari Bumi. Dan kehidupan hasil bumi tergantung bagaimana iklim berjalan. Tiga kebutuhan primer sangat menentukan bagaimana manusia dapat mendapatkan hak hidup yang tenang dan bahagia.
Era teknologi saat ini sangat memungkinkan manusia akan menciptakan bahan pokok dalam memenuhi tiga kebutuhan, namun pada dasarnya teknologi tidak bertahan lama. Bayangkan jika global warming tidak terbendung lagi, es di kutub utara dan selatan meleleh maka tidak menutup kemungkinan sebagian Bumi akan tenggelam. Tidak akan ada panen dan aktivitas produksi. Di sisi lain, iklim yang tidak menentu akan menghambat aktivitas dan pekerjaan manusia. Bayangkan, seandainya negara-negara di dunia tidak peduli pada fenomena ini dan hanya fokus membenahi kepentingan negaranya sendiri, perang saja akan sulit dilakukan jika iklim sudah tidak menentu. Bahkan manusia-manusia di muka bumi ini akan meninggal terlebih dahulu sebelum menikmati hasil keegoisan para pemimpin yang hanya fokus memberdayakan negaranya sendiri.
Walau begitu, 70 persen perubahan iklim di dunia adalah akibat ulah manusia. Di saat penebangan pohon secara massal dilakukan untuk membangun bangunan tinggi, nilai estetikanya tidak akan bertahan lama. Topik utama dalam menanggulangi perubahan iklim adalah emisi gas karbon dioksida dan efek rumah kaca. Keduanya adalah penyebab utama meningkatnya ketegangan global warming secara merata.
Hubungan Isu Perubahan Iklim Dengan Pemilihan Presiden AS 2024
Pada 12 Desember 2015 lalu, PBB mengadakan konferensi besar tentang perubahan iklim yang berhasil diadopsi oleh 196 negara di Paris, sehingga melahirkan perjanjian Paris. Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk memerangi perubahan iklim. Perjanjian ini kemudian diratifikasi oleh 55 negara penyumbang emisi gas rumah kaca global yang bertujuan menguatkan respon global terhadap ancaman perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan usaha untuk memberantas kemiskinan. Hal ini bisa dilakukan dengan membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri, dan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Barrack Obama, presiden Amerika periode 2009-2017 adalah penggerak utama adanya perjanjian ini dan berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26-28% dari tingkat emisi tahun 2005 pada tahun 2025.
Sejak diratifikasinya perjanjian Paris, AS berkomitmen penuh dalam usaha mengurangi emisi gas rumah kaca, mengingat AS adalah satu-satunya negara penghasil emisi gas terbesar. Semangat cinta lingkungan Obama juga disalurkan melalui pendanaan yang cukup besar melalui Green Climate Fund (GCF) untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan dampak perubahan iklim dan mempercepat transisi energi bersih.
Pergantian Presiden tidak selamanya menjamin sebuah kebijakan yang sama. Pemilu AS 2017 yang memenangkan Donald Trump sebagai Presiden menjadi mimpi buruk negara- negara anggota perjanjian Paris. AS sempat menarik diri dari perjanjian ini yang mengakibatkan hilangnya sumber dana terbesar dan lemahnya komitmen AS dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Trump berambisi pada peningkatan ekonomi AS sebagai upaya melanggengkan status negara adidaya agar tidak mudah terkalahkan. Sebab menurut hasil kajian NERA Consulting menyatakan bahwa keanggotaan Amerika dalam perjanjian paris menyebabkan kerugian $3 triliun dalam beberapa dekade mendatang. Tak berselang lama setelah kursi Trump tergantikan pada tahun 2021, Joe Biden dan wakilnya Kamal Harris kembali membawa AS dalam perjanjian Paris dan memulai komitmennya lagi. Sampai disini, sudahkah dapat menebak dampak dari terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden?
______________________________
Penulis : R. Ayu Kamiliya
Zahra, mahasiswi semester
3 prodi Hubungan Internasional UIN Sunan Ampel Surabaya.
Editor : M. Ilyas Faisal Adam