Advokasia.com-“Pita merah putih sama peniti doang masak Rp6.000, itu nalar nggak kira-kira?” keluh F, dan 2 mahasiswa baru Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Kalijaga. Mereka menyampaikan keresahan itu saat ditemui seusai Technical Meeting PBAK di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Senin (18/08). Keluhan tersebut muncul setelah atribut sederhana berupa pin mahasiswa hukum yang awalnya bersifat opsional, mendadak diwajibkan bagi seluruh mahasiswa baru peserta Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) 2025.
Bagi F, aturan mendadak ini menimbulkan kebingungan. Ia harus mengeluarkan biaya tambahan yang sebelumnya tidak diperhitungkan. “Kalau memang harus beli, kenapa tidak dari awal ditulis jelas saja? Jadi kami bisa menjelaskan ke orang tua uang itu habis untuk apa,” katanya. Ia menambahkan, orang tuanya sempat heran ketika mendengar kabar biaya tambahan. “Mereka pikir semua kebutuhan sudah ditanggung, ternyata masih ada biaya kecil-kecil tapi sering,” ujarnya.
Percakapan di grup kelompok memperlihatkan persoalan yang sama. R, mahasiswa baru lain, kami temui sebelumnya di Kafe Sender Sapen, Minggu (17/08), mengatakan praktik jasa titip (jastip) sempat ramai. “Ada LO yang langsung menawarkan. Paketnya bervariasi, mulai Rp57.000 sampai Rp33.000. Saya ambil paket menengah biar praktis,” ucapnya. Ia merinci paket yang ditawarkan panitia: Paket A (Rp57.000) berisi balon tepuk, dasi hitam, pin hukum, slayer, pita bendera; Paket B (Rp45.000) balon tepuk, dasi hitam, pin hukum; Paket C (Rp42.000) balon tepuk, slayer FSH, pin hukum; Paket D (Rp33.000) balon tepuk dan pin hukum. Pembelian satuan juga ditawarkan: balon tepuk Rp27.000, dasi Rp13.000, slayer Rp10.000, pin hukum Rp8.000, dan peniti bendera Rp6.000.
Temuan tersebut bukan hanya berasal dari pengakuan mahasiswa baru. Reporter Advokasia juga telah memeriksa poster jasa titip yang beredar di grup mahasiswa baru. Dalam poster itu, tercantum paket dengan rincian dan harga yang sama persis seperti yang disampaikan R, lengkap dengan opsi pembelian satuan untuk atribut tertentu.
Seorang mahasiswa baru lain yang ditemui di Convention Hall (18/08) menyebut ada dua jenis jastip: resmi melalui panitia dan nonresmi melalui kakak tingkat. Jastip nonresmi itu akhirnya dibatalkan karena bukan dari pihak resmi. “Saya ikut jastip panitia, namanya juga biar nggak repot,” ujarnya. Namun ia membandingkan harga dengan lapak lain. “Kalau di pasar atau toko online, beberapa item bisa lebih murah,” katanya.
Isu atribut beririsan dengan aturan pakaian. Jika tahun sebelumnya mahasiswa hanya diwajibkan mengenakan batik, tahun ini pada hari kedua peserta diminta memakai kain jarik. Seorang mahasiswa baru menyebut pengumuman perubahan itu datang dalam waktu yang dianggap singkat. “Untuk yang mandiri, rentangnya cuma sekitar 12 hari, terlalu mepet,” katanya. Mahasiswa lain menilai pembelian jarik menjadi beban baru. “Saya beli jarik Rp75.000 dan itu pun pendek banget. Di toko ada yang Rp900.000 sampai Rp1,3 juta hanya untuk kainnya,” ucapnya.
Perdebatan Soal Anggaran dan Mekanisme Dana
Ketua Panitia PBAK FSH 2025, Fauzal Adhim Abdillah, memberikan penjelasan terkait isu tersebut. Dalam prose wawancara di Gedung Konsentrasi Pemuda (16/08), ia menyatakan tidak ada keluhan resmi yang masuk. “Sampai saat ini, panitia tidak menerima laporan keluhan dari peserta,” ucapnya. Soal perubahan dress code ke jarik, ia menyebut sebagai inisiatif panitia. “Kami ingin memberikan legacy baru,” katanya. Menurut Fauzal, mahasiswa tidak diwajibkan membeli atribut dari panitia. “Panitia hanya memfasilitasi. Kalau mau beli di luar silakan,” ujarnya. Ia juga menyebut ada keuntungan (markup) dari penjualan atribut untuk menutup kekurangan anggaran.
Pernyataan itu berpapasan dengan pengalaman mahasiswa. R, yang ditemui sehari setelahnya (17/08), menyebut aturan baru justru terasa memberatkan. “Lumayan memberatkan. Kalau disuruh milih antara kain batik atau baju batik, saya lebih pilih pakai kemeja batik,” ujarnya. Beberapa mahasiswa lain menyampaikan kekhawatiran soal sanksi bila tidak mengikuti aturan seragam. “Takut dimarahi panitia kalau tidak sesuai,” kata salah satu mahasiswa baru seusai Technical Meeting (18/08).
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) FSH, Deriyan, yang ditemui di sela Technical Meeting (18/08), menerangkan bahwa penurunan anggaran menjadi faktor utama munculnya penjualan atribut. Ia menyebut dana PBAK tahun ini sekitar Rp64 juta sebelum pajak, efektif cair sekitar Rp62 juta, sementara pada 2024 sebesar kira-kira Rp84 juta dan setelah pajak sekitar Rp82 juta. “Porsinya sama tiga hari, tetapi anggarannya berbeda. Kekurangannya harus ditutupi,” ujarnya. Menurut Deriyan, DEMA sebagai steering committee memantau agar kreativitas panitia tidak menyalahi aturan dan akan meminta data transparansi keuntungan jastip untuk dipertanggungjawabkan.
Deriyan menambahkan, kebutuhan PBAK tidak bisa dipandang sebatas urusan konsumsi. Menurutnya, biaya untuk dekorasi, panggung, hingga perlengkapan teknis sering kali menuntut dana tambahan di luar anggaran resmi. “Kalau seandainya, kita kan PBAK bukan hanya butuh makan. Teman-teman pasti pernah menghadapi itu ya. Tapi PBAK butuh yang namanya banyak lah. Banyak hal—banner, ada juga panggung dan segala macam,” ujarnya.
Pernyataan ini sekaligus menjadi pembenaran atas praktik jastip yang dilakukan sebagian panitia. Meski begitu, Deriyan tetap menekankan bahwa setiap keuntungan harus transparan dan tidak menimbulkan kesan mahasiswa baru sedang dijadikan objek bisnis.
Pandangan Wakil Dekan III FSH, Saifuddin, menambah lapisan berbeda. Ditemui di Lantai 1 Gedung FSH (18/08) setelah memberikan sambutan pada Technical Meeting, ia menyebut tidak pernah menerima laporan terkait jastip oleh panitia dan pada prinsipnya tidak membolehkan praktik bisnis kepada mahasiswa baru. “Panitia tidak boleh melakukan kegiatan bisnis kepada mahasiswa baru,” ujarnya. Ia menjelaskan anggaran fakultas untuk PBAK tahun ini hanya menanggung konsumsi makan dan snack dua hari (sekitar Rp64 juta), sedangkan hari ketiga tidak. Selain konsumsi, pos lain seperti publikasi, dekorasi, dokumentasi, dan ATK dihilangkan tahun ini. Untuk menjaga operasional, fakultas menyiapkan dana talangan: panitia dapat mengajukan surat resmi meminjam dana sesuai kebutuhan dan diganti setelah SPJ selesai. “Jadi tidak perlu ada bisnis dengan mahasiswa baru,” kata Saifuddin.
Pernyataan Saifuddin menempatkan praktik jastip pada posisi yang dipersoalkan: DEMA menyebut jastip dibuka sebagai ruang kreatif panitia dan akan dipantau transparansinya; panitia mengaku memfasilitasi dan memperoleh keuntungan untuk menutup kekurangan; sementara fakultas menegaskan larangan bisnis kepada mahasiswa serta menyatakan ada mekanisme dana talangan. Di tingkat maba, jastip tetap terjadi—versi nonresmi dibatalkan, versi resmi melalui panitia berjalan—sekaligus memunculkan pertanyaan tentang batas “fasilitasi” dan “penjualan.”
Rekening Baru dan Konsumsi Hari Ketiga
Di luar atribut dan pakaian, konsumsi hari ketiga menjadi sorotan. F menuturkan mahasiswa diarahkan membuka rekening agar mendapat subsidi konsumsi. “Untuk buka rekening kami harus setor Rp50.000, tapi dipotong biaya admin Rp25.000. Jadi yang bisa dipakai hanya Rp25.000. Padahal untuk makan masih diminta Rp2.000. Jadi sebenarnya gratisnya dari mana?” katanya. Mahasiswa lain menilai syarat pembukaan rekening membingungkan. “Diminta fotokopi KTP orang tua, padahal kami sudah punya KTP sendiri,” ujarnya. Ia menyebut kekhawatiran penyalahgunaan data di tengah maraknya pinjol dan judi online, terlebih tidak ada penjelasan rinci soal keamanan data saat sosialisasi.
Saifuddin menyebut skema rekening muncul dari tawaran pihak swasta. “Seorang alumni menawarkan program melalui BCA Syariah. Kalau ada 200 maba membuka rekening, konsumsi hari ketiga bisa ditanggung dengan paket HokBen yang dibeli Rp2.000 via QRIS,” tuturnya. Setoran awal dipatok Rp50.000 dalam program khusus ini dan saldo yang ada di dalamnya akan bisa digunakan oleh maba sampai habis. “Namun yang buka rekening hanya sekitar 40 maba ditambah 100 panitia, jadi total 140—tidak memenuhi syarat 200,” kata Saifuddin. Ia menekankan syarat KTP orang tua adalah regulasi perbankan. “Mayoritas mahasiswa baru di bawah 21 tahun, jadi bank mensyaratkan orang tua sebagai pendamping. Itu aturan dari Bank Indonesia, bukan permintaan kampus,” ujarnya.
Di level panitia, kerja sama dengan pihak bank disebut memang bukan inisiatif mereka, melainkan arahan dari Wakil Dekan III. “Sponsorship BCA hadir karena hari ketiga tidak ada dana untuk konsumsi,” kata Fauzal. Ia menyebut data orang tua adalah regulasi pihak bank, sementara rekening tetap atas nama mahasiswa. Deriyan menambahkan, DEMA dan panitia tidak bisa memaksa pendaftaran rekening agar tidak menambah beban. “Kami memfasilitasi yang berkenan, tapi tidak mewajibkan,” ujarnya. Meskipun demikian, sebagian mahasiswa menilai informasi biaya administrasi baru disampaikan di tahap aktivasi, sehingga menambah rasa keberatan.
Di sisi lain, beberapa mahasiswa menyatakan tidak keberatan membawa bekal sendiri untuk hari ketiga. “Ya tidak apa-apa karena tidak ada konsumsi. Beli sendiri-sendiri juga bisa,” kata seorang mahasiswa.
Saifuddin menjelaskan, sejak awal pihak fakultas sebenarnya merancang konsumsi hari ketiga dengan tema Kuliner Nusantara. Strateginya, peserta membawa makanan dari rumah atau kos masing-masing untuk kemudian dimakan bersama. “Selain efisiensi anggaran, konsep ini juga dimaksudkan sebagai ruang kebersamaan, sambil menekankan aspek anti-bullying agar suasana lebih inklusif,” ujarnya.
Deriyan mengonfirmasi hal serupa. Ia mengatakan bahwa opsi Kuliner Nusantara memang dibahas sejak rapat bersama dekanat. “Sebenarnya opsi pertamanya adalah kuliner Nusantara. Tapi teman-teman panitia menganggap tidak realistis. Hari kedua selesai sore, lalu besok pagi jam 6.30 sudah harus di kampus, kapan mahasiswa bisa menyiapkan makanan berat dari rumah atau kos?” katanya.
Saifuddin juga menyoroti perbedaan anggaran sebagai latar belakang munculnya ide itu. Menurutnya, tahun lalu konsumsi tiga hari penuh ditanggung kampus. Namun tahun ini terjadi efisiensi dan pemotongan, sehingga hanya dua hari yang ditanggung. “Hari ketiga tidak ada konsumsi, maka dibuat strategi kuliner Nusantara,” jelasnya.
Meski sempat dipertanyakan sebab mahasiswa dinilai tidak punya waktu untuk mempersiapkan bekal makanan, konsep Kuliner Nusantara tetap direalisasikan pada hari ketiga. Mekanismenya: mahasiswa yang membuka rekening BCA memperoleh paket konsumsi, sedangkan yang tidak, membawa makanan sendiri. Hal ini dikonfirmasi oleh Ilyas, panitia sie acara, melalui pesan WhatsApp kepada penulis pada Jumat malam (22/08). Strategi ini akhirnya menjadi jalan tengah yang lahir dari keterbatasan anggaran sekaligus kebutuhan untuk tetap menghadirkan momen kebersamaan.
Reporter 1 : Hafiedz Fahrullatief
Reporter 2 : Faturrohman
Photographer : Faturrohman
Redaktur : Dita Citra