Soroti Kebebasan Akademik dengan Diskusi


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM – Kemenkastrad DEMA Fakultas Syari’ah dan Hukum sukses menggelar diskusi yang bekerja sama dengan Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) pada Kamis (15/05) kemarin . Acara yang bertempat di selasar Gedung FSH ini mengangkat tema Eksistensi Perguruan Tinggi dalam Kebebasan Akademik: Masuknya TNI ke Dunia Kampus.

Diskusi ini muncul sebagai respons terhadap kegelisahan mahasiswa terkait kehadiran anggota TNI di lingkungan akademik tanpa undangan resmi. Para peserta mempertanyakan dampak fenomena tersebut terhadap kebebasan akademik serta seberapa jauh perguruan tinggi mampu mempertahankan independensinya dari intervensi pihak luar.

Keberadaan TNI di sektor pendidikan, khususnya kampus, menjadi topik hangat yang mengingatkan mahasiswa pada kondisi masa Orde Baru. Kala itu, kebebasan berdiskusi dibatasi, pemikiran kritis dibungkam, dan mahasiswa menghadapi intimidasi dari pihak-pihak tak dikenal.

Dalam diskusi tersebut, perwakilan KPK, Pinto Kaganti Afwan, memaparkan dua landasan hukum yang melatarbelakangi keterlibatan TNI dalam dunia pendidikan. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang memberikan wewenang kepada perguruan tinggi dalam menentukan siapa saja yang berhak menjadi pendidik.

Meski ada dasar hukum yang membingkai keberadaan TNI di kampus, mahasiswa tetap mengungkapkan kekhawatiran mereka. Mereka menilai bahwa sistem satu komando yang melekat pada militer berpotensi menghambat kebebasan berpikir. Struktur hierarkis yang ketat dikhawatirkan akan menggeser ruang akademik yang seharusnya menjadi wadah bagi pemikiran kritis.

Pemantik kedua, Moammar Fajriandi, turut menyampaikan pandangannya dengan menyoroti konsep NKKBK yang digagas mahasiswa sebagai solusi agar keberadaan militer tidak menghambat dinamika akademik.

Menurutnya, Undang-Undang Perguruan Tinggi seharusnya secara tegas menjamin kebebasan akademik tanpa intervensi pihak eksternal. Ia menegaskan bahwa kampus harus tetap menjadi ruang bagi pemikiran reflektif dan kritis tanpa tekanan dari institusi manapun.


"Jika dunia akademik mulai dikendalikan oleh kepentingan di luar substansinya, maka dikhawatirkan daya kritis mahasiswa akan terkikis. Pendidikan harus tetap menjadi ranah yang bebas dari intervensi," ujarnya.

Diskusi ini semakin menegaskan keresahan mahasiswa terhadap keberadaan TNI di lingkungan kampus. Kehadiran institusi militer dalam ekosistem akademik tanpa undangan resmi menimbulkan kekhawatiran akan potensi pembatasan kebebasan berpikir serta intervensi terhadap ruang pendidikan.

Berbagai pandangan yang muncul dalam diskusi menegaskan pentingnya menjaga independensi perguruan tinggi. Mahasiswa menyoroti sejarah pembungkaman pemikiran kritis pada era Orde Baru serta menolak segala bentuk intervensi yang dapat menghambat dinamika intelektual.

Perwakilan Komunitas Pemerhati Konstitusi membahas aspek hukum terkait keberadaan TNI di kampus, sementara pemantik diskusi menegaskan perlunya perlindungan terhadap kebebasan akademik agar perguruan tinggi tetap menjadi ruang bagi pemikiran progresif.

Diskusi ini menjadi wadah refleksi intelektual bagi mahasiswa dalam menghadapi tantangan kebebasan akademik di lingkungan pendidikan. Mereka berharap agar perguruan tinggi tetap berpegang teguh pada prinsipnya sebagai ruang demokratis yang memungkinkan lahirnya gagasan-gagasan yang berkontribusi pada perubahan sosial.

Penulis: Zaituna lintang Amalia MK.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال