Menagih Keadilan dalam Dunia Kerja: MPBI DIY Dorong Revisi UU Ketenagakerjaan Berperspektif Gender


Advokasia.comDi tengah meningkatnya ketimpangan dan diskriminasi di dunia kerja, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menggelar diskusi publik bertajuk “Menata Ulang Regulasi Ketenagakerjaan yang Adil dan Inklusif: Urgensi Revisi UU Ketenagakerjaan Berperspektif Gender dan Pengesahan RUU PPRT”, Sabtu (18/10), di Sekretariat Kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DIY.

Acara yang dimulai pukul 12.00 WIB ini mempertemukan beragam elemen strategis seperti aktivis buruh, Kepala Dinas Tenaga Kerja DIY, perwakilan Komisi D DPRD DIY, senator DPD RI, serta sejumlah serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil se-Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum ini menjadi ajang refleksi kritis atas kondisi ketenagakerjaan yang dinilai masih jauh dari prinsip keadilan sosial dan kesetaraan gender.

Dalam sambutannya, Irsad Ade Irawan, Koordinator MPBI Yogyakarta, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari pelatihan Sekolah Buruh dua bulan sebelumnya. Bedanya, diskusi kali ini memfokuskan pada arus utama gender dalam pembaruan regulasi ketenagakerjaan.

“Diskusi ini bertujuan agar aspirasi pekerja, khususnya dari kelompok perempuan, dapat diserap dan dipertimbangkan dalam revisi UU Ketenagakerjaan. Selain itu, kami meminta komitmen senator untuk menindaklanjuti persoalan Tarumartani yang hingga kini belum menemukan solusi konkret,” ujarnya.

Irsad menegaskan dua arah besar perjuangan MPBI yaitu: memperkuat representasi buruh dalam proses legislasi dan memastikan penyelesaian kasus yang menimpa buruh lokal seperti di PT Tarumartani. Kedua isu ini merefleksikan paradoks dunia kerja—antara janji perlindungan dan realitas ketidakadilan struktural.

Menanggapi hal itu, Ahmad Syauqi Soeratno, Senator RI sekaligus anggota Komite III DPD RI, menyampaikan pandangan strategis mengenai tantangan ketenagakerjaan nasional. Ia menilai perubahan cepat di sektor ekonomi dan industri menuntut peningkatan kualitas tenaga kerja sekaligus kepastian perlindungan sosial.

“Keseimbangan antara pekerja dan pemberi kerja menjadi krusial. Ketika hak-hak pekerja diabaikan, dampaknya tidak hanya ekonomi tetapi juga sosial, bahkan menyentuh aspek keluarga. Orang tua yang tak mendapatkan hak layak sulit memberikan ketenangan dan perhatian pada anaknya,” tegas Syauqi.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa isu ketenagakerjaan bukan sekadar problem teknis administratif, melainkan persoalan kemanusiaan yang berdampak lintas generasi.

Dalam sesi inti, tiga narasumber memaparkan isu-isu mendesak yang memperlihatkan lemahnya keberpihakan regulasi terhadap kelompok rentan di dunia kerja.

Jumiyem, Ketua SPRT Tunas Mulia DIY, menyoroti nasib pekerja rumah tangga (PRT) yang hingga kini belum diakui sebagai pekerja formal.

“Banyak PRT bekerja hingga 16 jam tanpa batas waktu yang jelas. Mereka kerap mengalami kekerasan, pelecehan, bahkan perdagangan orang. Tanpa pengesahan UU PPRT, tak ada landasan hukum yang mampu melindungi hak-hak dasar mereka,” ungkapnya.

Sementara itu, Dwi Mawarti Woro Wening, Sekretaris PUK SPSI PT Tarumartani, memaparkan pengalaman buruh perempuan yang menghadapi diskriminasi dalam rekrutmen, karier, dan perlindungan hak reproduksi.

“Realitas hari ini sungguh memilukan. Banyak hak buruh, terutama perempuan, yang tak diakomodasi meski mekanisme perlindungannya sudah ada dalam undang-undang,” ujarnya dengan nada emosional.

Siti Umi Akhirokh, Hakim ADHOC Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Yogyakarta, memperkuat analisis dengan tinjauan hukum. Ia mengungkapkan bahwa draf revisi UU Ketenagakerjaan belum menyentuh isu gender secara signifikan.

“Tak ada pasal yang secara spesifik mengatur perlindungan terhadap perempuan. Padahal prinsip Equal Employment Opportunity (EEO) sudah menjadi standar internasional melalui ILO Nomor 183 dan 190,” jelasnya.

Ketiadaan perspektif gender dalam revisi UU tersebut, menurutnya, memperlihatkan lemahnya komitmen negara terhadap prinsip kesetaraan sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan perjanjian internasional.

Usai pemaparan, tanggapan datang dari M. Syafii, Sekretaris Komisi D DPRD DIY, yang menyoroti lemahnya implementasi nilai Pancasila dalam kebijakan ketenagakerjaan.

“Pertanyaan mendasar: ke mana arah implementasi sila kedua dan kelima jika masih banyak kekerasan dan ketidakadilan terhadap buruh? DPRD siap memfasilitasi perjuangan MPBI DIY ke tingkat DPR RI, asal gerakan ini mendapat dukungan nasional,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Disnaker DIY, Ariyanto Wibowo, dalam tanggapannya menyatakan apresiasinya terhadap forum tersebut dan berjanji memperhatikan isu gender dalam kebijakan daerah.

“Revisi UU Ketenagakerjaan membawa kebaruan pada hubungan kerja dan profit. Ke depan, Disnaker akan memperkuat koordinasi dan memastikan kebijakan yang lebih tepat sasaran, khususnya terkait isu gender dan Tarumartani,” jelasnya.

Diskusi publik yang berlangsung hingga pukul 16.00 WIB itu ditutup dengan sesi tanya jawab dan foto bersama. Namun, lebih dari sekadar seremoni, forum tersebut mencerminkan lahirnya kesadaran baru di kalangan buruh DIY: bahwa perjuangan tidak cukup berhenti pada protes, melainkan harus bertransformasi menjadi advokasi kebijakan berbasis riset dan keberpihakan.

MPBI DIY, bersama jaringan serikat pekerja dan organisasi sipil, kini berada di persimpangan penting antara idealisme dan pragmatisme politik. Tantangan terbesar mereka bukan hanya mendesakkan perubahan regulasi, tetapi memastikan revisi UU Ketenagakerjaan benar-benar berpihak pada para buruh kerja.


Reporter    : M. Saiful Masarih Abma

Redaktur    : Ahmad Alauddin Fakhri

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال