Penulis : Yusron Mustofa
Editor : Tim LPM Advokasia
Advokasia-Senat Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga mengadakan Diskusi pada Sabtu sore, 3 Juli 2021. Diskusi yang dilaksanakan secara daring di hari pertama PPKM darurat ini diisi oleh berbagai pembicara; Farrah Syamala R, S.H., M.H, Pengkaji Korupsi Pusat Studi Syariah dan Konstitusi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Kurnia Ramadhan, seorang Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW); Yudi Purnomo Harahap, S.H., S.Hum., salah satu Penyidik Madya / Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang termasuk dari 75 pegawai KPK yang tidak diluluskan dalam Tes Wawasan Kebangsaan; serta Akhmad Faizin, Koordinator Bidang Advokasi dan Gerakan Nasional BEM Nusantara.
Dalam sambutannya, Suhud, ketua Senat FSH mengatakan, bahwa dengan gejolak yang terjadi hari ini di dalam tubuh KPK menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia kehilangan arah. Hal ini dimulai sejak adanya RUU KPK sampai alih status pegawai KPK menjadi ASN. Inilah yang akan menjadi batu sandungan bagi KPK dalam melaksanakan tugas utamanya, memberantas tikus-tikus negara. Sri Wahyuni, Wakil Dekan III FSH juga mengatakan, bahwa pergeseran status pegawai suatu lembaga menjadi ASN adalah hal yang biasa, namun yang terjadi di KPK adalah hal lain. "What happen? Apa yang sebenarnya terjadi di tubuh KPK? Padahal, umpama di UIN ada pegawai honorer yang direkrut menjadi ASN, ini biasa sekali, ya cukup pemberkasan dan lain-lain. Jadi ini diskusi yang berbeda, terimakasih untuk adik-adik senat, di malam Minggu masih mau mengadakan kegiatan yang bermanfaat." Tuturnya.
Farrah Syamala R, yang memberikan pandangan lewat perspektif pidana dalam Webinar ini, mengatakan bahwa dalam kasus korupsi yang belakangan terjadi, yaitu korupsi bansos yang dilakukan oleh Menteri Sosial. Dalam kasus ini, hanya satu dalih yang menjerat Juliari Batubara, yaitu suap. Padahal, untuk memberatkan pidananya, bisa juga menggunakan dalih merugikan negara. Artinya, bahwa jika pidana korupsi bisa diberatkan, tentu ini akan menjadi sebuah benteng pertahanan untuk meminimalisir terjadinya korupsi di negara kita.
Bagi ICW, ada dua hal yang menyebabkan Komisi Pemberantas Korupsi semakin lemah seperti orangtua yang penyakitan. Pertama, adalah terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, yang sebelum terpilih melakukan pelanggaran kode etik ketika bertemu seorang Kepala daerah yang saat itu berperkara di KPK. Yang kedua adalah disahkannya RUU KPK oleh DPR RI, Fahri Hamzah dkk. Dua hal ini menghasilkan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) di Indonesia menurun dari tahun ke tahun. Indonesia yang berada di urutan 96 pada tahun 2017, turun ke peringkat 102 di tahun 2020. Sekalipun mampu menangkap dua tikus di tingkat menteri, hal ini tidak bisa dikatakan sebagai prestasi besar dalam pemberantasan korupsi bagi Kurnia Ramadhan. Ada hal lain yang perlu diperhatikan. Terjadi disorientasi dalam penguatan pemberantasan korupsi dan Komisinya. Seharusnya, RUU Tipikor, RUU Perampasan aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal yang dibahas guna menambah kekuatan KPK. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, RUU KPK, RUU Mahkamah Konstitusi, yang hanya merubah batas umur Hakim, dan Omnibus Law Cipta Kerja mendapat perhatian khusus dari DPR sehingga mendapat ketukan palu yang cepat untuk disahkan. "Dalam kasus pungli yang terjadi di masyarakat, respon Presiden adalah langsung menelpon Kaporli dan malamnya, ada 40 orang yang ditangkap sebagai pelaku pungli. Saya membayangkan bagaimana jika Presiden memiliki respon yang sama saat mendengar 5 mahasiswa meninggal saat demo RUU KPK." Tandas Kurnia Ramadhan. Bagi ICW dan Kurnia Ramadhan, TWK adalah jalan balas dendam Ketua KPK, menjagal kasus-kasus besar, membubarkan wadah pegawai KPK, dan menyingkirkan pegawai KPK dengan jabatan strategis, seperti yang dialami oleh Yudi Purnomo Harahap.
Yudi Purnomo Harahap sendiri adalah angkatan kedua pegawai KPK yang direkrut oleh KPK. Selama 17 tahun, semangat anti korupsi yang dibawa oleh KPK dan para pegawainya, nilai-nilai yang dijaga oleh mereka, menjadi pegangan dalam memberantas tikus-tikus kantor. Namun sejak RUU KPK yang disahkan, hal positif yang dibawa KPK semakin menghilang, termasuk pegawainya yang giat menangkap koruptor. Tes hasil selipan dari pimpinan KPK ke dalam aturan internal yang berisi pertanyaan-pertanyaan absurd ini mampu memberangus pegawai yang masih membawa semangat anti-korupsi. Ketika hasil tes ini ditanyakan kepada pimpinan KPK, mereka malah diping-pong ke BKN, dan mendapat jawaban yang nihil dari BKN sendiri. "Yang kami perjuangkan tentunya adalah semangat memberantas korupsi dan para pelakunya, bukan 75 pegawai KPK yang digagalkan lewat TWK. Masih ada waktu sampai November untuk memperjuangkan nilai-nilai idealisme KPK." Kata Yudi Purnomo.