TELAAH KRITIS ISLAM NASIONALIS


Dalam perspektif sebagian internal umat Islam, agama islam diklaim sebagai sebuah konsep yang mencakup hampir keseluruhan dari aspek alam semesta. Ada banyak hal seolah menjadi perhatian Islam sepanjang perjalanannya. Semenjak periode nabi Muhammad Saw. di Makkah hinggah menyeberang ke Madinah, sejatinya dapat ditarik sebuah kesimpulan penting. Sebuah solusi atau jalan yang diberikan agama Islam terhadap umat manusia lewat tangan pemeluknya. Maka, sebuah nilai yang menjadi solusi tersebut akan terejawantah disebabkan oleh andil dari pemeluknya. Dengan kata lain, Islam dan beberapa hal di dalamnya itu akan diterima sesuai atau tergantung bagaimana ekspresi yang diimplementasikan oleh para pemeluk agama itu.

Berjalan jauh ke depan, Islam semakin jauh dari sumber pertama yang—diklaim—paling autentik, yakni nabi Muhammad Saw sebagai solusi tiap perkara problematis. Sehingga, sesudah beliau wafat tidak sedikit perbedaan yang mengemuka di internal umat Islam. Dari perbedaan ini juga nanti yang mewarnai dinamika Islam lintas zaman. Perbedaan-perbedaan demikian akan terus ada dan senantiasa terpelihara. Maksudnya, kelaziman akan perbedaan tidak hanya sesuatu yang ada, lebih dari itu hal tersebut mestinya dipertahankan. Sedikit lebih masuk, bagaimana kelindan erat antara Islam dan negara. Meninjau lebih jauh, konsep bernegara atau bahkan kecintaan pada negara dalam tesmak Islam. Ihwal yang terakhir ini sering terjadi banyak ikhtilaf dari pemeluk Islam sendiri. 

Saya akan mengemukakan bagaimana sejatinya konsep negara ini diterima. Kemudian, dari penerimaan tersebut lahirlah sebuah anggapan nasionalis. Dengan kata yang lebih simpel, nasionalisme itu dapat diimplementasikan dengan kelapangan dada dalam menerima konsep bernegara di sini. Dalam Oxford Learner’s Dictionaries, termaktub [nationalism]; loving cyour country very much and being very proud of it; a feeling that your country is better than any other. Kecintaan sepenuhnya terhadap negara sendiri yang menganggap bahwa negara sendiri adalah yang lebih baik dari yang lain. Dalam perspektif saya, makna leksikal dari ‘yang lebih baik dari yang lain’ kurang real. Alangkah lebih kohern jika, semisal, diganti dengan penerimaan terhadap negara sendiri dengan berbagai kekurangannya. Nantinya, di belakang ada proses pembenahan.

Konsep yang dianut negara kita adalah negara bangsa(nation state). Di sini lah polemik kemudian muncul, atas nama agama Islam secara khusus. Ada sebuah problem yang mendasari bahwa semestinya konsep negara Indonesia berdasar pada hukum agama(Islam). Suatu hal yang dilupa, bahwa Indonesia meliputi berbagai agama dan keyakinan. Sehingga ketika kehendak tersebut diterapkan akan rentan memunculkan perpecahan. Sementara dalam perpecahan ini, rasa nasionalisme tidak akan pernah ditemukan di dalamnya. Kembali ke awal, bahwa anggapan dan kengototan ini berdasar atas klaim yang menganggap Islam sebagai solusi atas semuanya. Kesalahannya justru terletak pada implementasi dari Islam itu.

Lebih lanjut, merongrong keutuhan sebuah negara adalah hal yang sama sekali tidak dibenarkan. Islam jelas melarang keruskan dan perpecahan, apalagi dalam sebuah negara yang notabene banyak entitas. Sehingga hal-hal yang menjurus dan bisa menghantarkan pada perpecahan harus dikonfrontasi sebisa mungkin. Ini adalah bentuk nasionalisme yang paling mungkin atau bahkan ideal untuk diterapkan hari ini. Di saat banyak yang hendak mengobrak-abrik negara kita, maka kesigapan sebagai rakyat harus terus digaungkan. Ujungnya nanti tetap bermuara pada kenyamanan dalam menjalankan agama bagi umat Islam. Bukankah hal ini yang diharapkan oleh semua kalangan?

Dalam survei Gallup’s Law and Order Index, Indonesia masih dalam sepuluh besar negara teraman di dunia.  Hal ini tentu tidak lepas dari andil da rasa nasionalisme yang mengakar kuat. Meminjam bahasa Prof. Quraish Shihab, bahwa nasionalisme ini seakan menjadi fitrah. Maka dari nasionalisme ini rasa aman dan tenteram bisa tericipa dengan nyata. Tentu, tantangannya adalah hal di atas tadi. Yakni, ketika agama justru dijadakan meriam untuk menghantam nasionalisme dan negara. Semestinya, nasionalisme dan agama adalah hal yang tidak patut dibenturkan. Dari awal, kedua entitas tersebut tidak pernah mengalami persoalan dan bentrok.

Maka, solusinya saya kira adalah bagaimana mempertahankan kecintaan kepada negara dan konsep di dalamnya. Kekurangan-kekurangan akan konsep, bisa dibenahi dan dikritisi bersam-sama, sebagaimana nafas negara demokratik. Jadinya, cita-cita kemerdekaan sebagaimana yang diembuskan para founding fathers tetap terawat hingga bertahun sampai sekarang. Inilah nasionalisme yang sejati dan kita dicegah untuk membenturkannya dengan agama. sekali lagi, tidak ada persoalan yang mencolok antara kontradiksi agama dan nasionalisme. Anggapan saya, bahwa Islam ini adalah agama yang nasionalis sebetulnya. Ia menekankan terhadap kemerdekaan penduduk di atas penindasan dan mengutamakan kedamaian. Kedua hal ini adalah postulat yang tidak bisa ditawar di dalam kazanah Islam. Selanjutnya, kita hanya dituntut untuk mengembangkan dan mempertahankannya. Demikian.[*]


Moh. Rofqil Bazikh Anggota divisi intelektual Himpunan Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال