Advokasia.com – Meski Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan akan membentuk Tim Komisi Reformasi Kepolisian, hingga kini belum ada keputusan resmi maupun pembentukan tim yang konkret. PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) Yogyakarta menilai proses ini lamban dan terbatas pada wacana tanpa aksi nyata.
Dalam konferensi pers di Sugara milk
Yogyakarta, Kamis (18/9), PBHI Yogyakarta, menegaskan reformasi Polri harus
menyasar perubahan struktural dan kultural secara menyeluruh, bukan sekadar
seremonial. Mereka menyoroti normalisasi kekerasan di internal Polri dan
keterlibatan aparat dalam konflik yang merugikan masyarakat kecil.
Sejumlah narasumber dari PBHI Yogyakarta, LBH
Jogja, LBH SIKAP, dan PBH Peradi menyoroti
berbagai persoalan dalam institusi kepolisian yang belum terselesaikan, seperti
normalisasi kekerasan oleh aparat, lemahnya pengawasan internal, dan peran
polisi dalam konflik yang kerap merugikan rakyat kecil.
Menurut mereka, perbaikan kepolisian harus
menyasar perubahan struktural dan kultural secara menyeluruh, bukan hanya
formalitas atau seremonial semata. “Kekerasan yang dilakukan polisi sudah
seperti menjadi hal biasa. Dalam proses pendidikan anggota polisi pun belum ada
mekanisme efektif seperti pemasangan CCTV dan pengecekan kesehatan secara
menyeluruh,” ujarnya
Indikator keberhasilan reformasi, menurut
mereka, dapat dilihat dari berkurangnya kasus kekerasan oleh polisi dan
meningkatnya kepercayaan masyarakat, yang salah satunya tergambar dari
meredanya tagar protes di media sosial. LBH juga menekankan pentingnya
pelibatan masyarakat sipil dalam komisi reformasi untuk memastikan transparansi
dan akuntabilitas, serta merekomendasikan revisi regulasi agar menghilangkan
celah kekerasan oleh aparat.
“Kami berharap komitmen politik dari Presiden
benar-benar diwujudkan dengan pembentukan tim yang solid dan bisa membawa
perubahan nyata. Jika dibiarkan hanya sebagai gimmick, maka kepercayaan publik
terhadap polisi akan semakin menurun,” kata perwakilan dari Lembaga Bantuan
Hukum Jogja.
Kasus-kasus
pelanggaran HAM yang kerap viral di media sosial menjadi bukti perlunya
reformasi menyeluruh di tubuh Polri. Di antaranya kasus meninggalnya tahanan di
berbagai daerah yang masih belum ada kejelasan dan tindak lanjut hukum yang
memadai.
Pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta
media menanyakan, “Apakah reformasi ini hanya gimmick politik semata?”
Salah satu pembicara menjawab, “Memang ada
kekhawatiran seperti itu, mengingat belum ada pembentukan tim resmi atau
keputusan presiden yang jelas terkait Komisi Reformasi Kepolisian. Reformasi
tidak boleh hanya menjadi seremonial, harus ada keterlibatan masyarakat sipil
dan perubahan nyata di lapangan.”
Pihak kepolisian sendiri mengakui keterbatasan
dalam pendidikan anggota dan penanganan kekerasan di lapangan, biasanya hanya
mengeluarkan himbauan tanpa tindakan tegas.
Konferensi pers ini menjadi wadah bagi
masyarakat sipil untuk menyuarakan aspirasi dan mendesak percepatan reformasi
kepolisian demi terciptanya lembaga penegak hukum yang lebih transparan,
akuntabel, dan menghargai hak asasi manusia.
Pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta
media menanyakan, “Apakah reformasi ini hanya gimmick politik semata?”
Salah satu pembicara menjawab, “Memang ada
kekhawatiran seperti itu, mengingat belum ada pembentukan tim resmi atau
keputusan presiden yang jelas terkait Komisi Reformasi Kepolisian. Reformasi
tidak boleh hanya menjadi seremonial, harus ada keterlibatan masyarakat sipil
dan perubahan nyata di lapangan.”
Pihak kepolisian sendiri mengakui keterbatasan
dalam pendidikan anggota dan penanganan kekerasan di lapangan, biasanya hanya
mengeluarkan himbauan tanpa tindakan tegas.
Konferensi pers ini menjadi wadah bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan aspirasi dan mendesak percepatan reformasi kepolisian demi terciptanya lembaga penegak hukum yang lebih transparan, akuntabel, dan menghargai hak asasi manusia.