penulis : Ramadhan Iman
LPMAdvokasia-Marlina : Pembunuh Dalam Empat Babak adalah sebuah judul film karya dari Mouly Surya yang rilis pada tahun 2017 bulan November. film yang dibintangi oleh Marsha Timothy ini mendapat banyak sekali pernghargaan, baik dalam negeri maupun kancah internasional. sekalipun begitu, film yang sudah tayang di Netflix ini tidak begitu mendapat sorotan saat mentas di bioskop Indonesia.
Marlina memang hanya sebuah tokoh fiktif dalam film, namun kejadiannya sangat begitu terasa sesuai dengan realita penegakan hukum di negeri penuh sandiwara ini. cara berpikir Marlina yang lebih memilih untuk memenggal kepala sang perampok sekaligus pemerkosanya, daripada berpangku tangan menyerahkan nasib kepada penegak hukum di Sumba, adalah hal yang tentu kita dukung. melihat sang polisi acuh tak acuh dengan keberadaan dirinya, yang ingin membuat laporan kepada aparat yang membuat Marlina pada akhirnya kembali ke rumah dengan tangan hampa dan harapan yang kosong.
saya sudah lama menonton film ini, namun seperti sebuah mimpi yang jadi kenyataan, ketika terjadi kasus di Luwu Timur, saat seorang ayah yang tega memperkosa anaknya sendiri, kejadian Marlina yang diacuhkan oleh aparat penegak hukum seakan menjadi nyata. Pertama, bagaiman bisa seorang ayah kandung, begitu birahinya dengan keturunan darah dagingnya sendiri. Kedua, sungguh tak masuk akal, hari ini aparat kita tidak mampu mencari bukti kasus sehingga setelah baru dua bulan penyidikan, kasus ini ditutup. para aparat ini berkata, ketika sang anak bertemu ayahnya, sang anak langsung meminta dipangku ayahnya, sehingga terlihat seakan tidak terjadi apapum. selain itu, penutupan kasus ini juga berdasar pada asesmen Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Luwu Timur, yang dianggap tidak obyektif oleh LBH Makassar sebab mempertemukan korban dengan sang pelaku. bahkan P2TP2A dinilai maladministrasi, selain tidak melayani korban dengan baik.
Seperti kebanyakan kasus lain, kasus yang dialami Lidya (nama samaran) ini masih belum mendapat titik terang, sebab kepolisian masih menunggu bukti dari dirinya selaku pelapor. melihat kejadian ini, seperti saya merasa hidup di zaman batu, yang segala sesuatu memerlukan proses yang panjang, tapi bukankah itu memang ciri khas dari birokrasi kita?
Lidya sang ibunda, memang tidak bisa memenggal kepala si pelaku kemudian menentengnya ke kantor polisi terdekat, karena bahkan ketika dirinya melaporkan kasus ini, sang pelaku justru melaporkannya balik sebab nama baiknya yang tercemar, apalagi kalau dia memenggal kepala mantan suaminya. Ironi sudah biasa di negeri ini, teman-teman, jadi tahan emosi kalian.
Dari sini, pertanyaan mengapa penegakan hukum kita selalu lemah, adalah pertanyaan yang tidak perlu kita tanyakan lagi, sebab jawabannya tergantung dari para penegak hukum kita. Bisa jadi anda kurang bukti, bisa jadi karena anda tidak melapor, malah menyebarkannya ke medsos anda, atapun lainnya.
terngiang-ngiang di batok kepala saya, sebuah penggalan dari puisi sang kyai pujangga, Gus Mus, Di Negeri Amplop,
Amplop-amplop di negeri amplop
mengatur dengan teratur
hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
memutuskan putusan yang tak putus
membatalkan putusan yang sudah putus
Amplop-amplop menguasai penguasa
dan mengendalikan orang-orang biasa
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan
mencairkan dan membekukan
mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang alim bisa napsu.
Orang sakti bisa mati