Dikutuk Jadi Sebuah Candu

 

 

foto ilustrasi

Elia Lailatussyafa'ah

Rengek si Ecrek-Ecrek 

Bung kudongengkan pada sepenggal kisah

Di mana temaram ibu kota memanah tiap-tiap yang memijaki

Jadi peneduh sang kuasa di atas podium cantik

Dan kusambangi pula para makhluk epidermis kota

Tengah memberi nafas pada lambungnya yang tengah ricuh

Jemari mengepal mengecrek jeripayah

Interupsi apa? Tuntut siapa?

Kawanan kami makin landas suram! Sedang tuan makin melesat ke awan !

“Ah. Biarlah terbakar matahari, konon tanah mendekap duit karun “ kata si mbok

 

Adigang adigung adiguna, injak sana sini…

Acuh tak acuh pada ilalang yang menggeliat terpijak

Sebaya kami genggam aspirasi di bui

Sedang tuan bebas ambil hak kami                                    

 

Adigang adigung adiguna, injak sana sini…

Kami dikutuk dungu lagi bisu

Mendekam pahit yang membelenggu

Mencekik ritme senyum yang mesti dipeluk

Begitulah Bung, negeri kami terkini

 

Bisik Balada di Bilik Buana

Malam ini insan menyetubuhi sunyi

Seluruh khalayak dikemas gemam, ganar, gelalapan

Berkroni bersama peluk penat yang kian membilur

Bapak-bapak tertambat dari cengkrama

Pemuda merehat dari kafetaria

Ibu-ibu di PHK dari mengulik kisah tetangga

 

Kaum kopi kini menyeduh ampas pahitnya intuisi

Bergandeng bersama asap cerutu tunggal menari-nari

Dalam gubuk persemayaman bermeditasi

Menunggu para tentara alit pamit undur diri

 

Oooh mama .....

Bunga di taman meradang sendu sedan

Angin sepoi di antara belahan cakrawala dianggap pembunuh bayaran

Siasat dan negosiasi tak lagi mampu diandalkan

Yang statis justru diangkat perjuangan

Seolah Tuhan menjawab penat para insan

 

Saksikanlah sejenak !

Sujud kita di rumahkan

Sembahyang kita di rumahkan

Temu kita di rumahkan

Senyum kita di rumahkan

Fajar dan Senja kita  hanya malam

 

Vakatur pelik membakar sendu sedan

Aku tergolek nestapa dalam kepenatan

Namun benih lentera bersinar di bilik balada buana

Kami masih punya kebebasan

Aksara kami tak terbelenggu

Masih ceriwis di antara lorong-lorong goresan pena

Kata siapa kami bisu?

Selayaknya lukisan Monalisa di dinding lovre

Yang mengarih estetika di tiap-tiap diri

Memprovokasi aku berbincang pada aksaraku

Mencipta delusi yang tentram

Berbisik mengadu atau bertamu pada lembaran yang hening

7 Juni 2020

 

Dikutuk Jadi Sebuah Candu 

Hujan menari megah dalam fatamorgana senja

Mengalun mendendangkan not baru bagi masa

Kami tak lugu atau statis tak berdaya

Jadi kacung kubu lain merangkak menginjaki asa

Surau dikata persemayaman

Terpandang marginal dalam sosok peradaban

Menjamah cakrawala-Nya, kalbu tak kan mendua

Illahi landasan tiap jengkal melangkah

Jadi Einstein pada liarnya masa jalang

Avicenna jadi gebrakan, Habibie bakal panutan

Tak hanya sumpah serapah

Lalu sekarat rotasi yang kejam

 

Hujan menari megah dalam fatamorgana senja

Mengalun mendendangkan not baru bagi masa

Menuai metamorfosa

Ah.... besar nian negeri nan agama

Duniawi nan ukhrowi agungkan asma

Rabbku tumbuhkan sepadan

Jangan dikata “sudah garisnya”

Parasit mengganas stadium empat problematika

Gerogoti sel untuk bertranslasi

Gerilya diacungkan padamu pribadi

 

Hujan menari megah dalam fatamorgana senja

Mengalun mendendangkan not baru bagi masa

Jadilah pelangi di antara merdunya lambaian mentari

Ki Hajar Dewantara menyibak tirai beton jahiliyah

Karpet merah tinggal dipijaki

Tak ada sukar generasi genggam

Suapkan sarat peluk erat ilmu

Mengutuknya jadi sebuah candu

Benahi kalbu junjunglah asa

Menyihirnya jadi gelombang pengikis

Berdansalah dengan angan

Jadi peneduh di antara kesukaran masa senja

18 Agustus 2020

 

Darman di Persimpangan

Berita lelayu mengintip di balik rintik senja di persimangan kota

Di dekat surau jalan terjal mengunus nyawa

Lelaki kekar menjamah aspal kotor

Mencoba kekang jiwanya yang ingin kembali

 

Di dekat surau sunyi makin menjadi

Wanita parubaya, penjaja juadah pasar, teriaki darman yang terbujur memar

Kusambangi sekujur raganya penuh luka

Terselip pula tato bertengger sufi dan iluminati

kusumbangkan termangu yang tunggal

 

 Darman, jaring yang telah menjeratnya di bumi

Melakoni nafasnya jadi duta mendalil

Dunianya penuh cedera

Warta baru mengembang dibalik kerumunan yang liar ku tangkap

Darman mati di persimpangan dekat surau

Dengan menjamah air bar berlogo zam zam

Sedang ditasnya ada sangkur dan juga sorban

 

Katanya Dalam Peluk Proses 

Meradang sendu dalam dentuman balada

Siapa tuan nya?

Perangai seolah berjubah ksatria

Daku bergelut bersama walet-walet kecil

Yang mengitari pojok rumahan

Memutar berporos teruuus saja hingga pening membuncah

Hingga senja memanggilnya untuk kembali

Kembali ia dalam mimpi yang sendu

Terpatri dalam buku rahasia

Hingga kawanan atom pun tak kan sudi membisikkan penemuannya

Bergandeng justifikasi sang kuasa

Hanya tempo yang hadir dalam seminar itu

Entah dasar perangai atau Tuhan menyetel mode bisu

1 Januari 2020

 

*Penulis adalah mahasiswi Hukum Ekonomi Syari'ah 2021, asal Tegal

 

 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال