Rengek si Ecrek-Ecrek
Bung kudongengkan pada sepenggal kisah
Di mana temaram ibu kota memanah tiap-tiap yang memijaki
Jadi peneduh sang kuasa di atas podium cantik
Dan kusambangi pula para makhluk epidermis kota
Tengah memberi nafas pada lambungnya yang tengah ricuh
Jemari mengepal mengecrek jeripayah
Interupsi apa? Tuntut siapa?
Kawanan kami makin landas suram! Sedang tuan makin melesat ke awan !
“Ah. Biarlah terbakar matahari, konon tanah mendekap duit karun “ kata si mbok
Adigang adigung adiguna, injak sana sini…
Acuh tak acuh pada ilalang yang menggeliat terpijak
Sebaya kami genggam aspirasi di bui
Sedang tuan bebas ambil hak kami
Adigang adigung adiguna, injak sana sini…
Kami dikutuk dungu lagi bisu
Mendekam pahit yang membelenggu
Mencekik ritme senyum yang mesti dipeluk
Begitulah Bung, negeri kami terkini
Bisik Balada di Bilik Buana
Malam ini insan menyetubuhi sunyi
Seluruh khalayak dikemas gemam, ganar, gelalapan
Berkroni bersama peluk penat yang kian membilur
Bapak-bapak tertambat dari cengkrama
Pemuda merehat dari kafetaria
Ibu-ibu di PHK dari mengulik kisah tetangga
Kaum kopi kini menyeduh ampas pahitnya intuisi
Bergandeng bersama asap cerutu tunggal menari-nari
Dalam gubuk persemayaman bermeditasi
Menunggu para tentara alit pamit undur diri
Oooh mama .....
Bunga di taman meradang sendu sedan
Angin sepoi di antara belahan cakrawala dianggap pembunuh bayaran
Siasat dan negosiasi tak lagi mampu diandalkan
Yang statis justru diangkat perjuangan
Seolah Tuhan menjawab penat para insan
Saksikanlah sejenak !
Sujud kita di rumahkan
Sembahyang kita di rumahkan
Temu kita di rumahkan
Senyum kita di rumahkan
Fajar dan Senja kita hanya malam
Vakatur pelik membakar sendu sedan
Aku tergolek nestapa dalam kepenatan
Namun benih lentera bersinar di bilik balada buana
Kami masih punya kebebasan
Aksara kami tak terbelenggu
Masih ceriwis di antara lorong-lorong goresan pena
Kata siapa kami bisu?
Selayaknya lukisan Monalisa di dinding lovre
Yang mengarih estetika di tiap-tiap diri
Memprovokasi aku berbincang pada aksaraku
Mencipta delusi yang tentram
Berbisik mengadu atau bertamu pada lembaran yang hening
7 Juni 2020
Dikutuk Jadi Sebuah Candu
Hujan menari megah dalam fatamorgana senja
Mengalun mendendangkan not baru bagi masa
Kami tak lugu atau statis tak berdaya
Jadi kacung kubu lain merangkak menginjaki asa
Surau dikata persemayaman
Terpandang marginal dalam sosok peradaban
Menjamah cakrawala-Nya, kalbu tak kan mendua
Illahi landasan tiap jengkal melangkah
Jadi Einstein pada liarnya masa jalang
Avicenna jadi gebrakan, Habibie bakal panutan
Tak hanya sumpah serapah
Lalu sekarat rotasi yang kejam
Hujan menari megah dalam fatamorgana senja
Mengalun mendendangkan not baru bagi masa
Menuai metamorfosa
Ah.... besar nian negeri nan agama
Duniawi nan ukhrowi agungkan asma
Rabbku tumbuhkan sepadan
Jangan dikata “sudah garisnya”
Parasit mengganas stadium empat problematika
Gerogoti sel untuk bertranslasi
Gerilya diacungkan padamu pribadi
Hujan menari megah dalam fatamorgana senja
Mengalun mendendangkan not baru bagi masa
Jadilah pelangi di antara merdunya lambaian mentari
Ki Hajar Dewantara menyibak tirai beton jahiliyah
Karpet merah tinggal dipijaki
Tak ada sukar generasi genggam
Suapkan sarat peluk erat ilmu
Mengutuknya jadi sebuah candu
Benahi kalbu junjunglah asa
Menyihirnya jadi gelombang pengikis
Berdansalah dengan angan
Jadi peneduh di antara kesukaran masa senja
18 Agustus 2020
Darman di Persimpangan
Berita lelayu mengintip di balik rintik senja di persimangan kota
Di dekat surau jalan terjal mengunus nyawa
Lelaki kekar menjamah aspal kotor
Mencoba kekang jiwanya yang ingin kembali
Di dekat surau sunyi makin menjadi
Wanita parubaya, penjaja juadah pasar, teriaki darman yang terbujur memar
Kusambangi sekujur raganya penuh luka
Terselip pula tato bertengger sufi dan iluminati
kusumbangkan termangu yang tunggal
Darman, jaring yang telah menjeratnya di bumi
Melakoni nafasnya jadi duta mendalil
Dunianya penuh cedera
Warta baru mengembang dibalik kerumunan yang liar ku tangkap
Darman mati di persimpangan dekat surau
Dengan menjamah air bar berlogo zam zam
Sedang ditasnya ada sangkur dan juga sorban
Katanya Dalam Peluk Proses
Meradang sendu dalam dentuman balada
Siapa tuan nya?
Perangai seolah berjubah ksatria
Daku bergelut bersama walet-walet kecil
Yang mengitari pojok rumahan
Memutar berporos teruuus saja hingga pening membuncah
Hingga senja memanggilnya untuk kembali
Kembali ia dalam mimpi yang sendu
Terpatri dalam buku rahasia
Hingga kawanan atom pun tak kan sudi membisikkan penemuannya
Bergandeng justifikasi sang kuasa
Hanya tempo yang hadir dalam seminar itu
Entah dasar perangai atau Tuhan menyetel mode bisu
1 Januari 2020
*Penulis adalah mahasiswi Hukum Ekonomi Syari'ah 2021, asal Tegal